Kirana & Samudera (part 4)

Suara tangisan Kirana ternyata telah mengema dan terdengar keseluruhan telinga penduduk desa, termasuk Saipul Abdullah sang ayahanda. Aku akan kenalkan kau dengan Ayahanda Kirana ayah yang diktaktor, tegas, terkadang buas seperti singa tapi itu semata-mata karena ingin melindungi anak sematawayangnya Kirana.

"Pamanda saya melihat kirana menangis seperti orang kemasukan, dia sekarang digubug dekat lapangan" salah satu warga desa melapor dengan tergesa-gesa dan takut juga Abdul murka.

Walau Abdul sangat keras terhadap anaknya, ia dikenal sangat dermawan dan bersahaja di desa maka tak heran jika banyak yang menghormatinya, banyak juga dari mereka yang meminta Abdul untuk menjadi kades tapi Abdul menentang itu, menurutnya untuk membantu desanya ia cukup menjadi diri sendiri tak perlu embel-embel menjadi kepala desa.

Kaki Abdul gemetar , tangannya dikepal erat hingga uratnya terlihat, matanya merah melotot, ia rasa seperti ada bom yang ingin pecah dikepalanya. Sang istri Rahmawati mencoba menenangkan suami tercintanya dengan menyuguhkan segelas air putih, tapi air itu di tepis dengan tangan Abdul, gelas terjatuh, air dan pecahan kaca berserakan dipelataran rumah. Sejak tadi rupanya Abdul ingin menghampiri Kirana, tapi Abdul ditahan oleh dua ponakannya yaitu Rizal dan Isa.

"Paman tenang jangan murka," dengan tegas Isa menahan langkah pamannya yang terlihat bergemuruh itu.

"Kau tau apa soal tenang anak muda?!" Bentak paman kepada Isa.

"Kirana hanya sedang menangis paman, jangan murka.." sambung Rizal yang juga mencoba menenangkan.

"Kau tau, adikmu itu menangis karena apa dan siapa? Kau tau dia menangis sama saja menginjak harga diri saya!" Teriaknya dengan isak yang dipendam.

"Ayah tenanglah tenang! Kirana hanya sedang menangis, bukan mencoba kabur, bukankah kau yang menyuruhnya untuk jujur tentang rasanya kemarin..." Lerai Rahma, yang sama mencoba meluluhkan hati suaminya itu.

"Saya hanya memiliki anak satu tapi mengapa dia menangisi pria lemah yang saya tidak restui, kau tau betapa murka dan sakitnya saya sekarang Rahma?!" Suaranya mulai melembut, tapi tangisnya kini sudah tidak dapat ia tahan. Baru kali ini Abdul merasa kecewa, tapi dia rasa bukan kecewa karena Kirana yang menangisi Samudera, ia kecewa mengapa ia tidak bisa merelakan Kirana kepada pria yang menurutnya lemah itu.

Isa dan Rizal membantu Pamannya ke dalam kamar, ia rebahkan lelaki yang sudah setengah abad itu untuk dapat menangkan pikirannya, baru kali ini dia melihat paman begitu marah dan rapuhnya, begitu juga dengan Rahma ia hanya bisa melihat kedua orang yang di cintainya menangis, dia begitu takut untuk menentang suami, dan begitu lemahnya untuk melarang anaknya.

***
Kirana dipapah Laras kerumah, dia kuyu dan lemas tidak ada sorot mata Kirana yang biasa, Kini yang tersisa sorotan mata yang menyiratkan kesiksaan tiada duanya. Ia rindu Samudera tapi dia juga marah dan benci kepada lelaki itu.

Laras dan Kirana masuk dan duduk diruang tengah, Kirana masih membisu dengan sedihnya, sedangkan Laras hanya mampu mengusap lembut rambut sahabatnya dengan menatap iba kepada Ibunda Kirana.

"Kau kenapa sayang?" Tanya Rahma dengan lembut kepada.

"Tidak kenapa-kenapa Ibunda" jawab Kirana masih dengan tatapan kosongnya.

"Ibu..." Sambung Laras dengan nada pilu, ia masih ingin menemani sahabatnya itu tapi dia harus bergegas pergi, menurutnya ini sudah urusan keluarga, dan dia sebagai orang asing tidak boleh tau dan tidak  boleh ingin tau.

"Iya Laras..." Tatap Ibunda dengan tatapan yang tak kalah menyedihkannya dengan Kirana.

"Laras pamit Ibu, kau Kirana semoga lekas membaik.." Laras pamit dengan mencium  punggung 
tangan Rahma dan tak lupa sekedar membelai rambut Kirana, ia langkahkan kakinya dengan sejuta rasa gaduh dan risau yang menggelora.

Ketika baru saja Laras keluar dari rumah itu, tiba-tiba ada kegaduhan yang tidak bisa dilerai.

"Kau percuma Ayah sekolahkan tinggi-tinggi, kau percuma Ayah banting tulang hingga sendi ini mau patah, kau percuma Ayah doakan tiap malam semoga menjadi anak berbakti, kau percuma..." Teriakannya berhenti dengan isak yang sulit dibendung.

Sedangkan semua orang disana hanya bisa terdiam, Rizal dan Isa yang sedari tadi mencoba menahan pamannya kini mereka menyerah, hanya bisa memandang punggung pamannya dari belakang.
"Kau.. percuma ." Ucapannya terhenti lagi tapi kali ini dia memegangi jantungnya.

Semua orang kalut termasuk Kirana, kini ia takut Abdul mengalami serangan jantung. Benar saja Abdul terkapar lemah dilantai setelah beberapa kali mengaduh sakit di jatung.

"Pamaaaan" teriak Isa dan Rizal.

"Ayaaah aku mohon ampun..." Tangis Kirana disamping Abdul yang menahan sakit dijantung.

****

Ayahanda

Aku hadir berkat kau cinta ibu dan berdoa kepada kuasa.

Aku hadir dengan tangis yang kau tunggu .

malam kau belai rambutku
pagi kau ajarakan aku bicara
siang kau ajarkan aku berlari
sore aku kau nasehati.
Tiada dua kau di dunia
namun setelah dia tiba..
Aku mohon diri..
Ayahanda
ku mohon restui.

Comments

Popular Posts