Dingin

Sejak pagi dihari ini sudah membuat aku jengkel, mungkin karena aku sedang berada dimasa "bulanan".  Males, kata yang cocok untuk aku di hari ini. Hasilnya aku berangkat kekantor kesiangan , memang ada beberapa hal yang menyebabkan aku telat juga.

Seperti biasa aku diantar oleh  lelaki terhebat di hidupku yaitu bapa, yang dengan setia mengantar aku kerja dimana pun itu, sudah ku duga jalanan pasti macet , tapi ntah mengapa jalanan akhir-akhir ini memang lebih macet dari biasanya, mungkin bertepatan dengan mudiknya mereka yang ingin natalan, mungkin...

Saat ini aku sedang bekerja dikantor​ teman ku, aku menggantikannya hingga akhir Januari tahun besok, jaraknya menurut ku jauh, karena itu kantor terjauh yang selama ini pernah aku berkerja, tapi jalanya tidak rumit, cukup lurus dari gang rumah ku dan belok kanan menuju jalan raya, setelahnya hanya lurruuuuuuuusssss hingga sampai kantor.

Kau tau kawan, ada satu kejadian hari ini yang membuat mengapa judul tulisan ini "dingin".
Kamu pasti tau Bima kekasih ku, tapi dulu sekarang tidak karena sudah putus.
Sebelum aku ceritakan hari ini biarkan aku ceritakan dulu sedikit tentang aku, kantor sementara ku, dan rumahnya.

Setiap kali aku kekantor aku pasti melewati jalan rumahnya, rumahnya itu perumahan jadi sebelum masuk ke perumahan ada jalan panjang dulu, nah jalan itu yang setiap hari selalu membuat leher ku menengok ke arah kanan, kata ku dalam hati "siapa tahu Bima sedang jalan" Karena dengan melihat dia berjalan mungkin akan sedikit membunuh rasa rindu ku ini. Padahal tidak mungkin karena Bima malas jalan! Haha.

Tapi nyatanya beberapa kali aku hanya melihat bapaknya , aku ingat mungkin cuma dua kali. Aku sudah cukup bahagia melihat bapaknya yang sehat, dan bugar, beliau pada saat itu sepertinya sedang mengawasi proses penggalian lubang di depan jalan panjang itu, aku sendiri gak tau pastinya, yang pasti aku seneng, dan cukup membuat hariku seharian mengingat Bima, sampai pusing rasanya mengalihkan otakku dari pertanyaan-pertayaan tentang Bima.

Kalo boleh aku ceritakan juga, aku masih berusaha dengan semampuku untuk dapat mendengar kabarnya, walau memang kabar itu justru menusuk hatiku yang sedang dilanda rindu yang berat. Seperti kabar tentang wisudanya.  Aku bangga mendengar berita itu dan bahagia akhirnya kuliahnya itu selasai, pernah dia berkata padaku "Kaka ingin segera mengakhiri beban ini" berlebihan pada saat itu aku dengar, tapi kini aku merasakannya juga, karena aku ingin cepat selesai kuliah karena sudah muak! Haha.
Kabar wisuda itupun membuat aku sedih karena bukan dia langsung yang memberitahukanya tapi adik nya, aku harus banyak berterimakasih kepada Mba Nur karena terus membuat aku merasa dekat dengan Bima. Aku juga bersedih karena ada janji yang Bima sempat diucapkan padaku perihal wisudanya, tapi Bima tidak tepati, janji ini tak perlu aku beberkan disini karena cukup menguras emosiku jika aku ingat, aku yakin Bima ingat tapi hanya saja dia merasa sudah tidak perlu.

Sering aku rindu pada dia, dan ingin menghubunginya namun aku takut, aku ingat Ibu yang pernah marah padaku karena berbohong kepadanya perihal hubungan ku dengan Bima, dan aku rasa aku telah salah berbicara kepadanya , aku juga merasa menyakiti perasaan Ibu, aku takut, malu.
Ibu aku minta maaf , sangat minta maaf pada saat itu aku benar-benar hanya tau memiliki rasa yang luar biasa pada anak Ibu, dan lupa bahwa Ibu adalah surganya, aku minta maaf~

Baiklah kita kembali pada cerita hari ini yang dingin. Seperti biasa ketika ada jadwal ngampus aku meminta "tebengan" keteman ku , dan dia dengan ikhlas dan rendah hati tiada tara menolongku, hehe. Sebut saja dia Dilan (karena dia memberi aku Novel Dilan) hehe, kebetulan rumahnya di daerah Kuningan jadi sekalian ke arah kampus dia bisa langsung menjemputku.

Hari itu Dilan tumben dateng sebelum jam 5, memang baru tiga kali aku nebeng dengannya tapi hari ini dia datang cukup cepat menurut ku. Aku kabarkan kepadanya untuk menunggu karena kerjaan kantor masih ada dan rekan kerja ku juga belum mengacc kerjaan hari ini beres, sebenarnya aku cukup kesal dengan rekan ku karena dia terlihat santai sekali, padahal sudah aku katakan Dilan menunggu , dan langit mulai mendung.

Setelah hampir dua puluh menit dari Dilan datang akhirnya aku rampung kerjaan, aku bergegas menghampirinya karena takut dia malas menunggu aku yang minta tebengan tapi lama sekali datang, dan takut hujan karena langit sudah mendung, dan aku membawa laptop dan aku gak punya jas hujan.

Jreeng! Benar saja ketakutan ku , hujan serta merta datang bergerombol dan membasahi kami yang dengan pedenya tidak memakai pelindung air, apalagi aku yang biasanya memakai jaket , tapi karena alesan males aku gak bawa jaket, dan itu pembodohan!. Dilan mulai memacu motornya lebih kencang dia mencoba lebih cepat dari hujan, tapi hujan curang dia terus memanggil kawanannya dari banyak arah, dan ya! kita kehujanan.
Aku teriak agar Dilan dengar , aku  berkata agar Dilan memakai jas hujannya , dan aku akan naik angkot saja.

Dilan akhirnya memberhentikan motornya tepat di depan sebrang bandara dan dibawah pohon rindang, walaupun rindang tapi tetap cukup membuat aku basah, Dilan bergegas mengunakan jas hujannya dan mengerutu sendiri.
"Kenapa si hujannya gak bisa dipending" katanya dengan polos.

Sumpah! Aku gak enak sama Dilan yang udah jemput aku dan kehujanan.
"Disini mah gak ada angkot, di lampu merah biasanya,  ke lampu merah aja ya," katanya sambil memakai jas hujan.

Aku diam saja, sebenarnya aku sedang perhatikan jalan siapa tau ada Bima lewat karena itu adalah daerah rumah Bima, aku memang sering begini kadang pernah ke Gramedia dan nengok-nengok sendiri siapa tau Bima disitu tapi gak, kadang aku ke angkringan  siapa tau Bima beli susu jahe tapi dia gak ada juga, dan tadi diapun gak ada sampai akhirnya aku naik motor Dilan lagi dan menuju lampu merah.

Dilan menjalankan motornya pelan-pelan mungkin agar angkot lewat dia bisa berhenti dan mungkin karena hujan juga, tapi parahnya tau mungkin sial bagiku. Saat hampir sampai dilampu merah dengan kecepatan motor yang rendah aku menengok ke arah kanan jalan dan aku melihat mobil Bima, aku yakin mobil Bima, karena masih sedikit orang yang memakai mobil itu di kota ku. Aku kaget, panik, dan aneh padahal​ sebenarnya dari tadi aku cari dia walaupun iseng, tapi kenapa pada saat seperti ini aku bertemu. Lalu dengan respon aku bicara ke Dilan dengan sedikit memaksa dan memerintah "Dilan didepan aja didepan" dengan nada panik bingung, dan kesel juga.

Setelah itu aku turun di warung pinggir jalan didepan lampu merah pertigaan, aku turun dengan ngelamun, dan mengerutu sendiri. Kenapa harus ketemunya tadi, pada saat aku dibonceng Dilan dan kebasahan, kenapa enggak pada saat aku dan Dilan meneduh, kenapa enggak pada saat aku sedang neduh sendirian, aku takut Bima salah paham, bahwa orang yang mengendarai motor itu ada apa-apanya dengan ku, padahal tidak sama sekali tidak, yang ada adalah aku sangat rindu dia. Aku berdiri dengan hati yang kosong, sempat aku berfikir mungkinkah Bima putar balik mobilnya dan menghampiriku , tapi justru aku marah ke Tuhan.
"Kenapa Tuhan, kenapa harus ketemunya kaya tadi kalo Bima salah paham, kalo misalkan itu Bapaknya didalam mobil dan mengira aku sama lelaki lain , dan itu lebih parah, aku harus gimana" kataku sambil mengerutu dan sesekali mengucapkan istighfar .

Tapi rupanya angkot tidak kunjung datang juga , aku mengerutu lagi "Baiklah Tuhan gak usah Bima yang datang, cukup angkot aja yang dateng aku mau pulang, dingin.."
Dan tak lama kemudian angkot datang.

Didalam angkot aku masih ngelamun, dan sesekali membayangkan Bima, bagaimana kalo Bima begini, bagaimana kalo Bima begitu, aku takut banyak teori aneh yang tiba-tiba menghampiri kepala ku. Memang kenyatannya aku merasakan saat motor Dilan berpas-pasan dengan mobil Bima , mobil Bima seperti kecepatan melajunya dipelankan padahal jalan diarah Bima sedang sepi dan tidak berlampu merah, apakah mungkin Bima sadar itu aku, padahal sebenarnya belum tentu karena aku memakai masker, tapi tetap saja aku kalut aku terus mengerutu.
Sebenernya bisa saja Bima tidak tau itu aku, tapi aku sangat yakin Bima tau dan takut salah paham, hal itu juga yang membuat air mataku menumpuk dipelipis tapi aku tidak menangis aku hanya mengerutu. Mungkin itu yang menyebabkan Tuhan jengkel lagi kepada ku, setelah aku turun dari angkot yang pertama karena urung kekampus aku harus naik angkot kedua untuk melanjutkan rute perjalanan kerumah, tapi saat turun dari angkot tiba-tiba hujan datang lagi padahal sudah reda, dan saat aku mau menyebrang jalan tiba-tiba macet, dan posisiku depan kuburan, aku meringding , tapi kesal, sebal, dan dingin. Akhirnya aku berhasil menyebrang dan mengucapkan maaf yang banyak kepada Tuhan aku minta ampun cukup ngerjain aku hari ini , aku mau pulang , karena baju ku basah dan dingin, tubuhku dingin, hatiku dingin.

Di tengah perjalanan pulang kerumah aku teringat Dilan yang sudah menjemputku dengan suka rela, tapi harus kehujanan karena menungguku, dan aku dengan entengnya gak jadi kekampus karena patah hati yang sudah karatan ini. Lalu aku kirim pesan kepadanya , dan tak lupa aku meminta titip absen hehe.
Sesampai dirumah aku di sambut mamah dan bapak yang duduk diruang tamu, lalu aku melaju kekamar dan berusaha menenangkan diriku bahwa semua akan baik-baik saja.

Lalu aku ingat Gagah yang dengan sumringahnya mengatakan "aamiin" untuk aku berjodoh dengan Bima, tapi kataku "tidak".
Kau tau harus kawan, aku takut, aku takut Ibu masih marah, aku mau Bima, tapi aku lebih memilih Bima dengan kehidupannya tanpa aku, jika memang aku hanya dapat merusak nya.
Ibu aku minta maaf, segalanya aku minta maaf, aku sayang Bima, tapi lebih sayang Ibu, maafkan karena aku Bima berbohong pada Ibu. Ibu, izinkan aku memiliki rasa ini kepada Bima

Aku ingin menelpon mu, mendengar suaramu, bertanya kabar mu, tapi aku takut. Bima aku sayang kamu.
-crbn, 15 Desember 2017-

Comments

Popular Posts